Powered By Blogger

Kamis, 27 Oktober 2011

Kesaksian Tara Pradipta Laksmi Berubah-rubah



Sebelumnya, Ketua Majelis Hakim mengatakan bahwa saksi sudah pernah bersumpah di muka persidangan pada persidangani terdahulu dan sumpah tersebut masih mengikat sampai persidangan ini dan apabila ada keterangan saksi yang bertentangan dengan keterangan saksi pada persidangan yang terdahulu, maka yang dipakai adalah keterangan saksi pada saat ini.


Pasca dicopotnya Hari Sasangka dan hakim anggota lainnya dalam kasus Anand Krishna dan digantikan oleh Ketua majelis hakim yang baru yakni Albertina Ho. Albertina langsung memimpin jalannya persidangan mengingatkan kepada saksi-saksi untuk memberikan keterangan yang sebenarnya.

Keterangan Tara Pradipta Laksmi


Saksi mengaku pertama kali dilecehkan di Ciawi, Bogor (Jawa Barat) tanggal 21 Maret 2009. Padahal saat itu terdakwa berada di Sunter (Jakarta Utara). Dan banyak saksi yang melihatnya, bahkan mendengar sharing-nya dalam suatu pertemuan umum.

Dalam sidang yang sebelumnya dipimpin oleh Hari Sasangka, saksi mengaku dilecehkan hampir setiap hari selama bulan Maret-Juni. Padahal, dalam laporannya di Polisi, disebutnya April-Juni 2009.

Saksi mengaku selalu dimasturbasi oleh terdakwa dengan dimasukan jarinya ke dalam vagina saksi.Padahal, menurut keterangan visum dari kepolisian sendiri, selaput dara saksi masih utuh, dan tidak ada tanda-tanda kekerasan.

Dalam sidang yang dipimpin oleh Albertina Ho, saksi merubah keterangannya dan mengaku dilecehkan hanya 4 kali saja, dua kali di wilayah Jakarta Selatan, sekali di Ciawi, dan sekali lagi di Bali. Padahal kasus ini dilaporkan hanya di Jakarta Selatan, dan tidak di wilayah-wilayah lain sebagaimana disebutnya.

Dwi Ria Latifa, seorang aktivis perempuan yang juga menjadi kuasa hukum Anand Krishna sangat menyayangkan kebohongan-kebohongan saksi. “Ini betul-betul menodai wajah perempuan. Kenapa dia mesti berbohong seperti itu?,”ujarnya.

Pernyataan serupa juga muncul dari saksi ahli Prof. Dr. Ni Luh Suryani yang mengaku sudah sering menangani kasus-kasus pelecehan. “Ketika saya melihat saksi pelapor muncul di televise, dan apalagi melihatnya lagi di ruang sidang, saya terheran-heran. Tidak pernah ada korban pelecehan yang bisa tampil gagah di televise. Juga tidak pernah ada korban yang bisa ketawa-ketiwi seperti itu,” jelasnya.

TIRO yang menyaksikan sendiri sejak adanya komentar-komentar seperti itu, tiba-tiba sekarang saksi Tara Pradipta Laksmi terliht menangis.

Namun, David Purba, seorang aktivis dan juga anggota Komunitas Pencinta Anand Ashram mengatakan kepada TIRO, “Kami memiliki puluhan foto, bahkan rekaman video, dimana bisa dilihat jelas sekali bahwa menangisnya Tara Pradipta Laksmi itu hanya pada saat-saat tertentu. Dalam sekejap, tangisannya bisa berubah menjadi tawa,” ujarnya.
Keterangan Shinta Kencana Kheng

Saksi mengaku mengalami pelecehan tahun 2003, tapi masih aktif hingga 2006. Bahkan saksi juga pernah aktif menerima dan menerbitkan naskah-naskah buku dari saksi lain, yaitu Faradiba Agustin alias Fay alias Fe, dan Dian Maya Sari untuk diterbitkannya.
Anehnya, dari fakta persidangan keterangan saksi-saksi yang lain, diduga bahwa Shinta Kencana Kheng yang mengakomodir pertemuan-pertemuan dan merencanakan pelaporan ini sebelum melaporkan ke pihak Kepolisian pada bulan Februari 2010.
Saksi diduga menjalin hubungan dengan hakim Hari Sasangka yang menjadi Ketua Majelis Hakim persidangan sebelumnya.

Saksi juga bisa membawa barang bukti yang sebelumnya tidak pernah ada dalam daftar sitaan, dan meinterupsi hakim dalam persidangan.

Keterangan Saksi Muhammad Djumaat Abrory Djabbar

Tibalah kesaksian dari Abrory Djabbar yang menjalani sidang pemeriksaan ulang atas nama terdakwa Krishna Kumar Tolaram G alias Anand Krishna 20 Juli 2011 lalu dihadapan majelis hakim pimpinan Albertina Ho, menyatakan bahwa ialah yang mencarikan penasehat hukum untuk Tara Pradipta Laksmi yaitu Agung Matauch SH, untuk membela Tara Pradipta Laksmi dan korban-korban pelecehan lainnya. Dalam pertemuan tersebut juga didiskusikan siapa yang akan melaporkan pertama kali, dan sebagai apa, sebagai saksi pelapor atau sebagai saksi korban. Tara Pradipta Laksmi yang melaporkan pertama kali, kemudian Shinta Kencana Kheng, Farah Diba Agustin, Sumidah dan Dian Mayasari.

Pada tahun 2005, Dian Mayasari sudah menjadi istri saksi. Dian Mayasari menceritakan mengenai kejadian yang menimpanya, namun saksi tidak bisa berbuat apa-apa karena pada saat itu ada ajaran yang mana terdakwa merupakan seorang guru, apapun yang dilakukan oleh guru adalah benar, apapun yang dikatakan seorang guru adalah benar.

Setelah saksi Abrory keluar dari Anand Ashram pada pertengahan tahun 2005, terdakwa tidak lagi menjadi guru saksi. Namun anehnya, saksi tidak mempermasalahkan kejadian yang menimpa istri saksi karena tidak cukup untuk membuktikan hal tersebut karena hanya satu orang.

Keterangan ini jelas berbeda dari keterangan Dian Mayasari sendiri, dimana ia mengaku sudah pernah bertemu dengan Shinta Kencana Kheng dan Farah Diba Agustin, bahkan mendiskusikan ukuran alat kelamin terdakwa.

Majelis hakim menerangkan bahwa yang berwenang untuk menyatakan suatu laporan sudah cukup bukti adalah polisi, dan pada saat itu saksi tidak melaporkan kejadian tersebut kepada kepolisian. Saksi merasa percuma untuk melaporkan hal tersebut karena hanya satu saksi dan tidak kuat. Saksi tidak melaporkan hal tersebut, kemudian dilakukan pertemuan pada tahun 2009, diatur rencananya dan baru dilakukan pelaporan.

Setelah keluarnya Abrory dari Ashram pada tahun 2005, ia baru menyadari harga dirinya sebagai suami merasa diinjak-injak. Saksi Abrory dalam melakukan sesuatu dengan cara menghitung, kalau hanya satu orang maka tidak ada yang percaya, dan hal tersebut merupakan pemahaman saksi sendiri. Pada saat ini saksi terkait dengan perkara Tara Pradipta Laksmi, karena Tara Pradipta Laksmi sudah menjadi korban pelecehan di masa mudanya, sehingga memicu aksi untuk bergerak membantu Tara Pradipta Laksmi.

Menurut saksi Abrory pernah melihat Dian Mayasari dicium oleh terdakwa di perpustakaan sekitar tahun 2001. Ketua majelis hakim membenarkan pernyataan dari saksi bahwa kejadian pada tahun 2001 di perpustakaan Dian Mayasari hanya dipeluk bukan dicium. Penasehat hukum terdakwa menerangkan bahwa penjelasan saksi di kepolisian saat di BAP No. 9, bahwa saksi tidak melihat kejadian tersebut dan hanya mengetahuinya dari cerita yang diceritakan oleh Dian Mayasari, penasehat hukum terdakwa menjelaskan kepada Ketua Majelis Hakim bahwa dirinya hanya mencoba untuk melakukan konfirmasi terhadap keterangan saksi-saksi, kemudian ketua majelis hakim menanyakan kepada saksi, “apakah saksi melihat terdakwa memeluk?”, kemudian saksi menjawab “iya saya melihat” ketua majelis hakim menyatakan yang dipakai adalah keterangan saksi yang diberikan pada saat ini.

Penasehat hukum terdakwa pun meminta ketua majelis hakim untuk mencatat bahwa pada saat disumpah dan diperiksa di penyidik, saksi menggunakan identitas palsu. Setelah itu, ketua majelis hakim meminta saksi, penuntut umum, dan penasehat hukum terdakwa untuk maju dan memperlihatkan BAP saksi dengan identitas saksi. Akhirnya permintaan penasehat hukum terdakwa dikabulkan oleh ketua majelis hakim.

Keterangan Saksi Dian Mayasari

Pada awal persidangan penuntut umum mengatakan kepada majelis hakim bahwa penuntut umum telah memanggil saksi Dian Mayasari. Namun Dian Mayasari mengirimkan hanya sepucuk surat kepada penuntut umum.

Surat Dian Mayasari pada pokoknya, menyatakan bahwa yang bersangkutan sudah pernah diperiksa sebagai saksi dan merasa bahwa kesaksian yang diberikan di bawah sumpah. Oleh karena itu tidak mau memberikan kesaksian kembali dan tetap pada kesaksian yang terdahulu.

Penasehat hukum terdakwa merasa keberatan atas surat tersebut karena kesaksian sekarang dimaksudkan oleh majelis hakim yang baru untuk mendapatkan kebenaran materil, karena kesaksian sebelumnya belum mengungkapkan hal-hal yang ingin diketahui oleh majelis hakim yang baru. Oleh karena itu penasehat hukum terdakwa pada prinsipnya menginginkan agar Dian Mayasari dihadirkan kembali.

Atas apa yang diungkapkan tim penasehat hukum, penuntut umum mengatakan bahwa panggilan kepada Dian Mayasari baru dilakukan 1 (satu) kali dan oleh karena itu, penuntut umum tetap akan melakukan pemanggilan kembali kepada Dian Mayasari.

Oleh karena itu, penasehat hukum terdakwa dan penuntut umum sama-sama menginginkan agar Dian Mayasari dihadirkan, maka tidak ada masalah dan juga majelis hakim sebenarnya menginginkan agar Dian Mayasari tetap dihadirkan kendali dipanggil 4 (empat) kali oleh penuntut umum, Dian Mayasari tidak hadir dipersidangan dan yang dipimpin oleh majelis hakim yang baru. Penuntut umum mengatakan kepada majelis bahwa penuntut umum tidak bisa menghadirkan Dian Mayasari.

Prashant Gangtani, yang ditemui TIRO di PN Jakarta Selatan mengaku kecewa terhadap ketidakhadiran Dian Mayasari. Ia mengatakan, “sungguh aneh, Dian kan mengakunya dilecehkan oleh ayah saya, dia sempat bicara dulu di media di sana sini. Namun pada saat dipanggil ke persidangan tidak mau hadir. Saya sempat melihat BAP Dian, ada satu pertanyaan penyidik yang dijawab 12 halaman penuh, seperti cerita novel pakai tanda tanya dan tanda seru segala. Mungkin lupa novelnya,” ujar Prashant.

Keterangan Farah Diba Agustin alias Fay

Ketua majelis hakim menyatakan kepada saksi Farah Diba Agustin, “mengapa baru pada tahun 2010 kejadian yang menimpa saksi baru dilaporkan, padahal kejadian tersebut sudah terjadi selama 7 (tujuh) tahun yang lalu? Untuk menjadi bayangan 7 (tujuh) tahun yang lalu sampai dengan pada saat ini dihitung terdapat berapa bulan? Kalau memang dakwaan ini benar, dalam tiap bulannya terdapat berapa korban?. Hal tersebut yang membuat adanya pertanyaan dalam pikiran ketua majelis hakim.

Penasehat hukum terdakwa mengutip ucapan terima kasih yang dituliskan oleh saksi Farah dalam bukunya “Kupersembahkan karya ini kepada engkau Guruji, yang telah membukakan mata dan telinga hati, dan bagaikan bintang-bintang di langit kasihmu begitu tinggi, menerangi setiap jalan untuk membaktikan diri bagi Ibu Pertiwi, My Beloved Guruji Anand Krishna, dharma dan budimu adalah cermin bagiku”.

Saksi membenarkan kalimat itu diungkapkan oleh saksi dengan sepenuh hati pada saat itu, saksi mengatakan bahwa dirinya sangat menghormati terdakwa, tetapi apakah dengan perlakuan saksi seperti itu, terdakwa bisa seenaknya melakukan pelecehan kepada saksi.

Bahkan penasehat hukum terdakwa menegaskan kalimat yang terdapat di buku yang ditulis oleh saksi memang dibuat dan diterbitkan setelah saksi menerangkan telah mendapatkan pelecehan seksual oleh terdakwa.

Salah satu tim kuasa hukum Anand Krishna Dwi Ria Latifa, SH, mengatakan bahwa saksi Farah Diba Agustin mengaku sebagai aktivis perempuan yang dilecehkan pada tahun 2003 dan saksi tidak pernah melaporkan hal tersebut. Namun tahun 2006 saksi pernah menulis buku dan memuji pak Anand bahkan mempersembahkan buku tersebut ke pak Anand. Menurut Dwi, ini sangat kontra aktif. “Sebagai seorang aktivis perempuan saya tau persis sifat aktivis perempuan. Seandainya hal itu betul terjadi seorang aktivis mustahil duduk diam. Apalagi jika ia sendiri yang mengalaminya, ini semua aneh dan saya yakin Majelis Hakim melihat akan hal ini,” ujar Dwi Ria Latifa kepada majelis hakim.

Bahkan majelis hakim mempertanyakan mengapa saksi sering merubah keterangannya? Majelis hakim pun memperingatkan saksi agar tidak memberikan keterangan yang tidak jelas, Yang dapat mengakibatkan keterangan saksi tidak dipakai.

Penasehat hukum terdakwa meminta ijin kepada majelis hakim agar diadakan konfrontir antara Maya Safira Muchar, Farah Diba Agustin, dan Dewi Juniarti. Penasehat hukum terdakwa mempertanyakan mengapa saksi yang merasa merupakan korban pelecehan seksual tetapi menulis puji-pujian untuk terdakwa di novel yang dibuat saksi. Sejumlah kejanggalan ini seakan menjadi petunjuk pemidanaan terhadap Anand Krishna merupakan konspirasi yang terencana (Matroji Dian Swara).

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar